Selasa, 07 Oktober 2008

ZIYA GOKALP : KONSEP PEMIKIRAN DAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Turki pernah menjadi pusat kekuasaan DUNIA Islam yang tak terkalahkan hamper selama delapan abad dan sanagt disegani di Eropa.[1] Kerajaan Turki Ustmani (The Ottoman Empire) merupakan kerajaan yang terbilang sukses memelihara kemerdekaanya hingga abad XIX dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Kerajaan Ottonom menemukan dasar-dasar identifikasi nasionalitasnya yang dikemudian hari dikeristalkan dengan Westerensasi yang dilakukan Turki adalah sekuralisasi, suatu ungkapan yang ketika itu membuat kaum Muslimin terkejut. Keterkejutan Muslimin lebih akrab mengenai Turki sebagai kerajaan Islam dengan system pemerintahan Khalifah.
Kekhalifahan menggambarkan segala sesuatu harus didasarkan pada sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis. Sistem pemerintahan pada model ini seolah-olah merupakan aplikasi dari Sya’riah secara totalitas bagi Negara Islam yang diharapkan. Sementara Sekuralismememberi image penghapusan Agama, atau yang lebih toleran pemisah Agamadari Negara. Agama hanya menjadi urusan masing-masing individu.
Pembaharuan di Turki[2] menimbulkan pergolakan pemikiran yang secara garis besar terdiri dari tiga corak pemikiran, yaitu Barat Islam Nasionalisme. Masing-masing corak

pemikiran tersebut mempunyai tokoh, dasar dan tujuan serta alasan mengapa harus diadakannya pembaharuan.[3]
Golongan barat menghendaki agar peradaban barat dijadikan sebagai dasar pembaharuan. Mereka merencanakan pembaharuan untuk membebaskan bangsa Turki dari segala bentuk kebodohan dan kejemuan berfikir. Pemimpin terkemuka dari golongan ini adalah tewfik Fikret (1867-1951) seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengeritik dan menentang kaum tradisional. Dan Dr. Abdullah jewdat (1869-1932) seorang intelektual yang dianggap pendiri persatuan dan kemajuan. Mereka ini merupakan orang yang cukup gigih dalam mendorong perjalanan moderenesasi Turki dengan gagasan Barat.[4]
Golongan Islam sebagai lawan terkeras dari golongan barat. Terdiri dari atas beberapa kelompok dan yang terkuat adalah kelompok Sirat-Mustaskim. Ini adalah nama majalah yang kemudian berganti menjadi Sebel-ur Resed. Salah satu pemukanya bernama Mehmed Akif (1870-1936). Menurut golongan ini, bangsa Turki harus bias mengambil ilmu pengetahuan dan Teknologi Barat, akan tetapi harus pula bias menolak adat istiadat


mereka. Agama bukanlah merupakan penghambat kemajuan, seoerti yang dikatakan golongan Barat ingin meniru Barat (Westerenesasi) dengan tanpa reserve.[5]
Di tengah-tengah situasi ini muncul seorang Tokoh pembeharu Turki dengan golongan Nasionalis. Mehmed Ziya Gokalp (1875-1924). Dialah yang mempelopori aliran nasionalisme Turki dengan serangkaian pemikiran yang segar dan actual pada waktu itu. Gerakan ini merupakan pengganti dan Puan Turanismeatau Pan turkisme, yang dicetuskan oleh orang-orang Turki yang berasal dari daerah Rusia.[6]
Ziya Gokalp merupakan salah seorang pemikir terkemuka Turki abad modern, dan juga salah seorang Ideologi Negara Republik Turki yang diproklamirkan oleh Mustama Kemal Attatruk merupakan orang yang mengalaborasi lebih jauh terhadap pemikiran Ziya Gokalp. Karena itulah menurut hemat penulis pemikiran Gokalp sangat penting dibicarakan terutama bagaiman posisi Gokalp dalam pembaharuan Di Turki dan bagaimana pula pemikirannya dalam bidang politi, sosial dan agama dan apa yang melatar belakangi sehingga muncul ide tersebut.
B. BIOGRAFI ZIYA GOKALP
Ziaya Gokalp lahir dengan nama Mehmed ziya.[7] Pada tahun 1875 di Diyarkabir, sebuah koat pusat kebudayaan dan administrasi Di Anatolia Tenggara, wilayah pinggiran Iran dan Arab.


Ayah Ziya gokalp bernama Telek Efendi, seorang pegawai kerajaan Ottonom. Kehidupan pribadi dan visi pemikiran awalnya banyak dipengaruhi ayahnya dan pamannya dari ayahnya ia mewarisi pandangan progresif seperti jiwa patriotic dan tantannan hokum
konstitusi, ayahnya meneghendaki Ziya gokalp agar dapat mengecap pendidikan barat disamping juga mempelajri ajaran-ajaran Islam. Sedangkan dari pamanya ia memperoleh ilmu agama, sufisme, dan filsafat.[8] Setelah ayahnya meninggal dunia, Ziya Gokalp diasuh oleh pamanya Hasip Efendi seorang sarjan muslim yang membantunya dalam belajar Bahasa Perancis, Arab dan Persia sekaligus memperkenalkan karya-karya Sufi, sejak masih kecil Ziya Gokalp memang sudah gemar membaca karya-karya besar seperti Imam Ghazali, Ibnu Sina, ibnu Rusyid dan lain-lain.
Semenjak masa sekolah Ziya gokal ptelah aktif dalam gerakan polotik. Sewaktu mengikuti pelakaran di sekolah kedoktoran hewan istambul, salah seorang gurunya Yorge, menekankan perlunya mempelajari Phsikologi dan filsafat rakyat Turki. Anjuran ini menjadikan Ziya Gokalp menaruh perhatian pada Sisiologi.[9] Tahun 1896 di Is Tambul ia memesuki komite persatuan dan kemajuan. Kekota asalnya di Diyarbakirdan menikah dengan sepupunya Cevreye tahun 1898, mereka dikaruniai tiga orang putrid, tahun 1909 selain mengikuti revolusi turki muda, Ziya gokalpjuga mendirikan cabang local bagi oraganisasi CUP, di thessalonika, tahun 1909 dikota Salonika, dia terpilih menjadi anggota komite pusat, tahun 1918 tepatnya bulan nopember partai ini dibubarkan. Akhirnya ia bertemu dengan seorang doctor muda yang bersal dari Etnis Kurdi. Doktor inilah yang menumbuhkan minatny untuk memperhatikan problem-problem politis dan social, bahkan doctor ini yang juga mendorong mempelajari sosiologi lebih mendalam lagi.[10]
Dengan kemampuan berbahas Prancis, Gokalp selanjutnya lebih memperdalam pengetahuanya tentang sosiologi, terutama sosiologinya Emil Durkhiem, yang kemudian
dipergunakannya sebagai alat analisis sebagai kmunduran Islam dan sekaligus mencoba memberikan alternative peneyelesaian karir cemerlang Ziya Gokalp sebagai pemikir nasionalis bermula dan pertama kali dia menggunakan samaran Gokalp (1911), dan menerbitkan jurnal ke Istambul, dan terus menulis jurnal. Diantara jurnal yang diterbitkan Tur Yurdu (1912-1914), Halka Dorgu (1913-1914), Islam Mecmua (1917-1918). Karya Ziya Gokalp hamper semuanya terbentuk jurnal dan puisi. Sebagai buah karyanya yang berbentuk hanya The Bases Of Tiurkism (dasar-dasar Turkisme 1923) dan buku yang berjudul Turki Madeniyati Ta’rikhi (sejarah peradaban Turki) yang iatulis menjelang wafatnya samapi tidak terselesaikan.
Pada tahun 1915 ia dikukuhkan sebgai professor pertama dibidang Sosiologi di universitas Constatinopel, tempat ia mengajar.[11] Setelah perang dunia pertama, sebagai anggota komite pusat CPU, dia dianggap oleh inggris dan diasingkan ke Malta pada tahun (1919). Setelah bebas dari persaingan, ia kembali ke Diyarbakir dan menerbitkan jurna Kucuk Mecmua (1922-1923). Selain itu ia juga segera pindah ke Istambul karena kesehatannya menurun, sambil memberikan dorongan bagi kemajuan Nasional Turki, Ziya Gokalp meninggal dunia karena sakit pad tanggal 25 oktober 1924 di Istambul, kuang lebih empat decade setelah kematiannya, Ziya Gokalp tetap merupakan pemikir Turki yang paling berpengaruh.
Menganalisa dari riwayat Ziya Gokalp dia sebagai pemikir, penyair, dan politisi, dia juga dalah salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam sejarah polotik dan intelektual Turki abad ke 20. dari paparan diatas tadi dapatlak kita melihat posi Ziya Gokalp dalam pembeharuan di Turki beliu adalah teoritikus terkemuka yang mendudukan nasionalisme Turki sebagai landasan bagi sintesis anatara westerinesasi sekuler dan gerakan pembaharuan Turki berdasarkan pola barat dengan tetap mempertahankan agama Islam sebagai standar pembawa Islam selama berabad-abad tidak ditolelir oleh orang-orang nasionalis. Menurut kata kata Halide Edib Adivar dalam perkembangan sejarah yang menguntungkan Turki,[12] sebagai Muslim.
Kesadaran Nasionalisme Turki dikerajaan Usmani mulai timbul dipertengahan kedua abad ke 19. kerajaan Usmani yang daerah kekuasaannya mencakup daerah erofa timur di sebelah barat memiliki rakyat yang terdiri dari berbagai bangsa yang menganut berbagai agama.[13]
Ziya Gokalp dapat dipandang sebagai pejuang pertama di dunia Islam karena konsep Nasionalisme Baratnya.[14]
Ziya Gokalp menolak ketinggian UMMAH sebagai persudaraan Universal islam, karena bertentangan dengan konsep Nasionalisme Barat.[15]
Dalam menerima peradaban barat modern, Ziya gokalp memberikan alasan sebagai berikut :
Peradaban barat adalah kelanjutan dari perdaban Midetarian kuno, para pendiri peradaban Meditarian adalah orang-orang Turki juga, seperti bangsa Sumerian, Sythian, Phoenician dan hyksos. Zaman turanian dalam sejarah sebelum sejarah konu bagi para penduduk terdahulu asia barat juga adalah bagian peradaban barat dan memiliki bagian yang sama didalamnya.[16]
Ziya Gokalp mengikari keluhuran isLam dalam menempatkan derajat peradabannya yang independen.[17]
Dalam menerima peradaban barat, Ziya Gokalp berbeda dengan orang seangkatnnya, yaitu tidak membedakan antara yang baik dan yang buruk tetapi terus meniru dan mengambil segala aspeknya.[18]
Tujuan Turkisme dalam bidang hukum adalah menegakkan hukum modern di Turki. Masalah yang paling pokok untuk keberhasilan kita dalam menggabungkan tingkat bangsa modern adalah dengan melakukan pembersihan pada semua cabang tatanan dari jejak teokrasi dan klerekalisme(penganut partai agama). Yang dinamakan Negara modern haruslah bebas dari dua karakter yang berlaku pada abad pertengahan terebut. Dalam pemerintahan modern, pertama yang harus dilakukan adalah menempatkan badan legeslatif yang benar dan secara langsung rakyatlah yang mempunyai hak untuk mengaturnya. Tidak ada badan, tidak ada tradisi serta hak-hak lain yang dapat mengekang serta membatasi tatana seperti ini. Langkah kedua semua warga modern, dengan tidak memperdulikan agama yang mereka anut, harus dipandang satu sama lainnya dalam setiap masalah. Pendeknya semua syarat yang ada dalam hukum kita yang bertentangan dengan kebebasan, persamaan dan keadilan, serta semua bekas teokrasi dan klerekalisme harus dihilangkan seluruhnya.[19]
Dalam perkembangan gerakan pembaharuan di Turki, terdapat tiga aliran gerakan yang bertujuan ingin memajukan bangsa Turki dengna metode dan pendekatan yang berbeda. Aliran tersebut adalah :
Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa pertentangan antara Islam dan peradaban barat menuju Ziya Gokalp dalam mencapai peradaban yang modern.[20]
Ziya gokalp menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang penyair yang besar. Inilah seperangkat puisinya yang diberi judul “ Religion and Science” yang memuat konsep idealnya mengenai kewanitaan.
Orang perempuan – ibuku, saudara perempuan atau anak putriku. Itulah dia yang membangkitkan perasaan yang paling suci dari kedalam hidupku.
Kekasihku – matahariku, bulanku dan bintangku !
Itulah dia yang membuatku mengerti kehidupan puisi !
Bagaiman bias hokum suci Tuhan memandang ciptaan-ciptaan yang ibdah itu hina?
Jelaslah ada kesalahan dalam mengartikan Qur’an oleh kaum terpelajar.
Dasar suatu bangsa serta pemerintahan adalah keluarga.
Sepanjang keseluruhan makna wanita itu bias direalisasi, maka kehidupan nasional tetap tidak akan sempurna.
Didikan keluarga harus sesuai dengan keadilan;
Karena itu persamaan adalah perlu dalam tiga hal-perceraian, pemisahan dan warisan.
Selama kaun perempuan dihitung setengah dari kaum laki-laki seperti dalam warisan dan perkawinan maka tak ada keluarga serta Negara yang akan menjadi makmur. Untuk hak-hak yang lain kita telah membuka undang-undang keadilan nasional.
Keluarga yang kita serahkan ditangan para ahli hukum agama dan teologi.
Saya tidak tahu kenapa kita menyerahkan kaum wanita dalm kesukaran.
Apakah dia tidak bekerja untuk bangsa ?
Cataula dia akan memutar jarumnya kedalamsebuah Bayonet tajam untuk mengoyak hak-haknya dari tangan kiat melalui revolusi?[21]
Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Relegious Thought In Islam mengatakan………Ijthadnya Ziya gokalp secara terbuka menguburkan kenyataan kenyataan. Denga memandang tuntunan syair Turki, saya khawatir dia tidak nampak menengtahui banyak tentang hokum kekeluargaan Islam.
Proyek kesayangan Ziya Gokalp adalah reformasi Islam kedalam suatu moderinisasi dan Agama yang barupa ilmu pengetahuan. Melalui suatu moderanisasi dan agama yang barupa ilmu pengetahuan ia bermaksud menjadikan mesjid sebanyak mungkin meneyerupai gereja Kristen. Empat tahun setelah kematiannya, impian itu menjadi nyata takkala sebuah Fakultas-Ketuhanan baru paad universitas Istambul menunjuk sebuah Komite untuk membuat rekomendasi melalui Universitas kepada Kementrian Pendidikan. Laporan disiarkan pada bulan Juni 1928, yang isinya antara lain menasehatkan, memperkenankan bangku (Gereja) serta jam kamar kedalam Mesjid, Orang Shalat dengan memakai sepatunya, menggunakan Bahasa Turki dalam shalat, dan untuk membuat shalat di Mesjid itu indah, mudah mendapat inspirasi, serta memiliki nilai spiritual, maka Mesjid perlu melatih para musikus dan alat-alat musik. “Kebutuhan ini adalah penting bagi kaum modern dengan meletakkan Alat musik Barat yang Suci kedalam Mesjid”.
Karena orang Turki sama taatnya dengan saudara-saudara muslim lainnya, Mereka menolak untuk menelan Islam yang bermacam-macam ini seperti yang ada ditangannyaZiya Gokalp, dimana seluruh proyek ini dibiarkan begitu saja sebagai kesalahan yang sangat hina.[22]
Dalam perkembangan gerakan pembaharuan di Turki, terdapat tiga aliran gerakan yang bertujuan ingin memajukan Bangsa Turki dengan metode dengan pendekatan yang berbeda. Aliarn Tersebut adalah :
a. Golongan Barat
Golongan ini memiliki beberapa ide dalam pembaharuan di Turki, diantara sebab kelemahannya terletak pada orang Turki sendiri. Mereka buta, mundur dan terhijab oleh keadaan Sya’riat yang menguasai segala kehidupan bangsa turki. Sebagai terapinya adalah bangsa Turki harus meniru dan memahami peradaban barat.[23]
b. Golongan Islam
Golongan ini merupakan golongan yang amat keras menentang ide pembaharuan yang dikemukakan oleh golongan barat. Golongan ini terdiri dari beberapa kelompok dan ynag paling kuat adalah kelompok Sirat-I Mustakim.[24] Golongan ini berpendapat bahwa, penyebab kemunduran Turki bukanlah Agama, sebab agama bukanlah menjadi penghalang bagi kemajuan, justru yang mengakibatkan mundurnya Turki adalah karena Sya’riatnya tidak dijalankan lagi dikerajaan Usmani dan orang Turki suka meniru Barat. Menurut golongan ini terapi yang terbaik adalah membuat sya’riat berlaku untuk segala aspek kehidupan rakyat Turki.
Lebih lanjut Harun Nasution mengungkapkan, menurut pandangan golongan ini Negara harus diatur olah para ulama, sebab Negara tidak bias dipisahkan dengan agama. Namun kenyataannya, hal ini tidak bias diwujudkan, sebab Turki terdapat dua penguasa yaitu Khalifah dan Sultan.
c. Golongan Nasionalis
golongan ini lahir atas reaksi terhadap Pan Turanisme (Pan Turkisme) yang tidak praktis dalam praktisnya. Ide Pan Turisme merupakan reaksi terhadap ide Islamisme yang tidak bias diwujudkan. Ide menegaskan bahwa semua orang Turki diwilayah manapun merupakan satu bangsa.
Semangat kebangsaan merupakan salah satu tenaga yang penggerak yang hebat dalam zaman modern ini. Di Eropa di mana awal mula telah mencapai kedewasaan secara radikal wajah segala bentuk dan benda selama abad ke-XIX, sehinngga abad itu umumnya dikenal abad kebangsaan.[25] Dalam kenyataan Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa (a state of mine) , yakni suatu kepercayaan yang diatur oleh sejumlah besar manusia, sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan dengan rasa kebersamaan dalam suatu golongan (a sense of belonging together) sebagai sautu bangsa.
Dalam situasi seperti ini, Ziya Gokalp tampil dengan pengalaman akademisnya yang cukup banyak sebagai seseorang sosiolog terkemuka dan dipandang sebagai pendiri nasionalisme Turki. Dia melihat kelemahan rakyat Turki disebabkan adanya keengganan umat Islam untuk mengakui adanya perubahan dalam kondisi kehidupan mereka. Disamping itu tidak melihat perlunya interprestasi baru terhadap nilai-nilai ajaran Islam terhadap situasi yang berkembang. Golongan nasionalis Turki, menghendaki ajaran Islam perlu diterjemahkan kembali sesuai dengan perubahan zaman, sebab jika tidak nilai-nilai lama yang telah mentradisi dalam kehidupan akan menjadi belenggu untuk mencapai kemajuan.
Sebab yang lain dari kemunduran rakyat Turki adalah karena hilangya kebudayaan nasional Turki, dan peradaban islam lebih dominant di dalam masyarakat Turki. Menurut golongan Nasionalis terapinya adalah menghilangkan institusi dan tidak berfaedah. Kebudayaan yang hendak dihidupkan itu, meskipun bercorak nasionalisme Turki, tetapi harus dijiwai oleh Islam, jadi golongan nasionalis ini tetap menjadikan Islam sebagai nilai yang ada dalam kebudayaan Turki.
Dari paparan diatas terlihat bahwa proses penerapan ide pembaharuan di Turki ketiga golongan, walaupun masing-masing nampak ada perbedaan namun menjadikan rakyat Turki supaya mencapai kemajuan, secara bertahap arah perubahan itu berjalan dengan pasti.
1. Pemikiran Ziya Gokalp dan Analisa Pemikirannya
a. Bidang Politik
Keberadaan sejarah pada masa hidup Ziya Gokalp sangat diwarnai denga konflik dan peperangan. Suatu hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa pemikiran yang dilontarkan oleh tokoh Turki merupakan respon terhadap kondisi social politik yang berkembang ketika itu. Spektrum pemikiran sangat dipengaruhi oleh problem social sebenarnyamerupakan Ekstradisi dan menjemput moderenisasi.
Situasi Turki sejak mas Pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839), beliau diangkat menjadi Sultan (1807-1839).[26] Dianggap sebagai awal dari pembaharuan di Turki pada abad XIX, yang penuh dengan gejolak social karena pemerintah sasat itu banyak melakukan usaha-usaha pembaharuan disegala bidang. Pada mulanya penggerak pembaharuan tersebut lebih bersifat psikologis, yakni keterkaitan Turki pada peradaban Barat. Hal ini terjadi sejak kerajaan ottonom masih kokoh dengan wilayahnya yang luas, juga sebelum barat mampu memainkan pengaruhnya secara efektif dalam bidang. Ziya Gokalp ingin membangun sebuag Turki baru dan akan memindahkan kembali antara jurang Turki Usmani dan nenek moyangnya. Ia yakin bahwa Islam yang dibangun oleh bangsa Arab tidak akan sesuai dengan kita semua. Denga materi etnis secara hati-hati ia berusaha mengumpulkan institusi-intitusi kebudayaan serta politik dari sejarah Turki periode sebelum Islam. Ia ingin melakukan pembaharuan agama sesuai dengan tempramen nasional.[27] Misi bangsa Turki tidak lain adalah agar supaya sejajar dengan kekuatan Eropa baik secara militer, ilmu pengetahuan dan industri. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan adalah dengan menerima peradaban barat. Gokalp tanpa keraguan sedikitpun menyalin model-model barat bersamaan dengan pengkultusan kebesaran Keturki-an.[28] Sebagai ahli sosiologi, Ziya Gokalp sangat dipengaruhi sarjana prancis Emile Durkheim. Filsafat politiknya dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul The Bases of Turkism ( Dasar-dasar Turkisme tahun 1923).[29] Dalam buku ini ia mengemukakan akan gagasannya tentang pengembangunan Turki berdasarkan pola barat dengan tetap mempertahankan agama Islam.
Negara merupakan institusi terpenting yang harus mendapat pembaharuan, karena pada saat itu kekuasaan kahlifah dan kekuasaan duaniawi Sultan sulit untuk dipisahkan. Sultan mempunyai kekuasaan spiritual dalam Syaikh Al-Islam. Dengan adanya konstitusi (1876) kekuasaan Syaikh Al-Islam bertambah luas. Ia memiliki bukan hanya kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan mengontrol badan yudikatif dan badan legislative.
Ziya Gokalp dan golongan nasionalis Turki menginginkan perhapusan kekuasaan legeslatif yang dimiliki Syaikh Al-Islam dan mengembalikan keparlemen. Dan pemindahan mahkamah Syari’at dari Yuridiksi Syaikh Al-Islam keyuridiksi kemantrian kehakiman. Selanjutnya memindahkan madrasah dari kekuasaan Syaikh Al-Islam kepada kekuasaan kementrian pendidikan.[30] Dari uraian diatas bias dipahami bahawa yang dikehendaki oleh golongan Nasionalis (Ziya GOkalp) bukan Negara secular yakni pemisahan Agama dan Negara, tetapi pemisahan Negara dengan kekuasaan ulama yang terdapat di biro Syaikh Al-Islam, terutama dalam hal Mu’amalah. Adapaun persoalan Dinayet itu tetap berada di tangan para ulama.
b. Bidang Sosial dan Agama
untuk membangun angka Turki Muslim yang kontemporer Ziya Gokalp mengatakan bahwa dasar yang sebenarnya dari kemajuan dan pembahruan adalah tradisi. Oleh karena itu menganjurkan agar kegiatan penelitian tentang berbagai aspek digalakkan guna mementukan perkembangan yang evolusioner, sehingga dapat diketahui kemajuan-kemajuan bias diperoleh di hari-hari kemudian.[31]
Gokalp menegaskan bahwa bangsa (Nation) adalah suatu komunitas yang merupakan hasil dari perpaduan dari kebiasaan budaya dibawah sebuah “Otoritas Kultural” cultural authority). Hal ini berbeda dengan komunitas yang disatukan oleh aturan-aturan agama dan tunduk pada ototitas agama tersebut yang dinamakan dengan Ummat (umat), sedangkan komunitas yang terbentuk karena aturan-aturan politik dan tuduk pada otoritas politik itu disebut dengan Negara (State).
Pendekatan tersebut di dasarkan pada tipe-tipe masyarakat sesuai dengan perdabannya. Gokalp menyatakan bahwa masyarakat terbagi dua tipe, yaitu masyarakat Primitif dan masyarakat Orgaik. Dalam masyarakat primitive hanya ada satu jenis otoritas, yaitu agama. Otoritas dalam masyarakat primitive tersebut didasarkan pada adapt istiadat dan adapt istiadat itu didasarkan pada agama. Sedangkan masyarakat organic selain ada otoritas agama juga ada otoritas politik dan budaya.
Gokalp juga mengadakan pembedaan anatara kebudayaan dan perdaban. Menurutnya kebudayaan itu bersifat unik, nasional, subjektif, dan tibul dengan sendirinya, sedangkan peradaban bersifat umum, internasional, objektif, dan diciptakan. Kebudayaanlah yang membedakan suatu bangsa (nation) dan bangsa lain.[32] Bangsa-bangsa yang mempunyai kebudayaan belainan, tetapi mereka mempunyai perdaban yang samadisebut perdaban Barat.
Sebagai seseorang sosilog Gokalp dalam mengamati Isalm yang ada di Turki sebagai suatu fenomena social, yakni suatu factor social yang diterapkan dalam bentuk kemasyarakatan yang nyata dan dapat disaksikanserta dialmi oleh orang banyak. Dengan demikian Agama Islam merupakn Agama yang dinamis sehingga dapat sejalan dengan perkembangan zaman. Gokalp sangat yakin bahwa agama tidak akan bermakna bila prinsip-prinsip yang dikembangkannya tidak membuka peluang untuk menerima perubahan.
Dalam sebuah Puisinya yang berjudul “Relegion and Science”, yang memuat konsep idealnya mengenai kewanitaan.[33] Isi gagasan adalah, bahawa didikan keluarga harus sesuai dengan keadilan. Gokalp menghendaki adanya kesamaan antara hak laki-laki dan perempuan, baik dalam pendidikan dan warisan. Misalnya dalam pembagian warisan antara wanita dan laki-laki sama (tidak ada pembeda). Kalau hal itu dilakukan maka keluarga dan Negara akan menjadi makmur.
Gokalp mengembangkan konsep barunya tentang sumber hukum Islam (Fiqih) yaitu Nash dan ‘Urf’. Nash dalam hal iniadalah ketentuan yang sudah baku dan tidak ada lagi penambahan dari segi kuantitasnya. Yakni Alquran dan Hadis dari segi kualitasnya, Islam masuh tetap dikembangkan sejauh mungkin dengan tidak menghilangkan Sumber yang primer sedangkan Urf adalah kesadaran kolektif dari masyarakat yang telah terpelihara sejauh Masyarakat menerimanya.[34] Gokalp menginginkan adanya pemisahan antara di Yanit dan muamalat. Ia mengatakan bahwa hukum yang terdapat dalam muamalat berasal dari adat dan kemudian dikuatkan oleh wahyu dalam Alquran.[35] Dan karena itu adat itu bersifat dinamis. Dinamika adat inilah yang ahrus diantisipasi oleh pemerintah dan menjadi tugas pemerintah untuk tetap menjaga dinamika muamalat. Sedangkan Dnayit adalah menjadi otoritas ulama untuk senantias menjaga agar tidak berubah. Jadi agama menurutnya mempunyai fungsi tersendiri didalam masyarakat atau dengan kata lain Agama memainkan peranan yang fungsional dalam suatu masyarakat hal ini dapat dilihat dalam upaya mencari nilai-nilai sosiologis dan berbagai bentuk ritual keagamaan (ibadah) seperti fungsi sahalat berjamaah sebagai pendorong umat untuk bersatu.
Dari pikiran-pikairan yang dilontarkan oleh Ziya Gokalp diatas, masih banyak lagi keinginannya untuk memajukan bangsa Turki, diantaranya masalah azan yang diterjemahkan kedalam bahasa Turki ditempat Umum, pologami harus dihapuskan, bunga uang tidak riba dan lain sebagainya. Ide pemikiran beliu tersebut diteruskan oleh tokoh Mustafa Kamal Attaturk yang menjadi sebuah gerakan.















PENUTUP
Dari semua paparan di atas, maka dapatlah di ambil konklusi sebagai berikut:
1. Ziya Gokalp lahir dan di besarkan dalam Negara yang sedang di landa krisis politik yang berkepanjangan . pemikiran ziya gokalp, banyak sekali di pengaruhi oleh keluarganya terutama ayah dari pamannya yang banyak mendukung gokalp dalam pendidikan. Selain itu kecendrungan pikirannya dipengaruhi oleh seorang sosiolog besar dari prancis (emile durkheim), sehingga sedikit banyaknya ia mengadopsi teori –teori sosiologinya. Gokalp merasa prihatin terhadap kesulitan utsmaniyah, dan berupaya mencari solusi agar tetap bertahannya kesulitan tersebut. Dia menjadi seorang pemikir, penyair, filosof dan sosiolog.
2. Gokalp menyatakan bahwa penyebab utama kehancuran islam adalah hilangnya kebudayaan nasional yang disebabkan kecendrungan islam untuk memaksakan diri sebagai sebuah peradaban dengan mengorbankan kebudayaan nasional serta menuju peradaban yang ilmiah, dengan mengambil model-model barat, yang bercorak nasionalisme turki tetapi harus dijiwai oleh islam. Artinya sekalipun golongan barat dan nasionalis turki banyak mempengaruhi, tetapi masih terkait dengan agama.
3. Gokalp mengadakan pemisahan antara urusan agama, yakni yang termasuk dalam masalah ittkat (keyakinan) dan ibadat dengan urusan social manusia (muamalat). Persoalan ibadah menjadi tanggung jawab para ulama, sementara persoalan muamalat menjadi urusan Negara dia berkeinginan agar syikh al-islam di batasi. Bahkan kekusaan legislatif di kembalikan ke parlemen. Mahkamah syariah harus diserahkan kepada mentri kehakiman, pendidikan dikembalikan kepada mentri pendidikan.
4. Gokalp berkeinginan hak kewarisan antar laki-laki dan wanita sama, poligami dihapuskan dan bunga uang tidak riba.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, (19940, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta,
Jambatan.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 17, (1999), Jakarta, Cipta Adi Pustaka.
Eva Y. N, dkk, Ensiklopedia Oxford Of The Modern Islamic Word, Terjemah Dunia Islam Modern, Bandung, Mizan, 2001.
Gibb H.A.R. (1991, Airan-aliran Modern Dalam Islam, Jakarta, Rajawali, Pers.
Jameelah, Maryam, (1982), Islam dan Moderenesme, yang dikutip dalam buku Ziya Gokalp, Turkish Nasionalisme and Watren Civilization, Surabaya, Usaha Nasional.
Lothorp, Stoddart, The New Word Of Islam, di terjemahkan oleh H.M. Muljadi Djojomartono, dkk, dengan Judul Dunia Baru Islam, (Jakarta : 1996).
Mas’adi Ghufran A, (1999), Ensiklopedi Islam (ringkas ), Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Mugni Syafiq, (1997), Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki, Jakarta Logos.
Nasution, Harun (1992), Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang.
Sani Abdul, (1996), Linatasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam
Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
The Encyclopedia Americana, International Edition, Jilid 13, (1996), Amerika
Crolier Incorporated.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, (1992), Ensiklopedia Isalam Indonesia, Jakarta Jambatan.
Toprak, Binaz, (1999), Islam dan Perkembangan Politik di Turki, Yogyakarta, Tiara Wacana.



[1] Binnaz Toprak Islam dan perkembangan politik di Turki, (Yogyakarta Tiara wacana 1999), h 15.
[2] Hingga abad ke 19, orang-oarng Turki masih menganggap diri mereka sebagai oarng muslim: loyalitas mereka adalah milik Islam, bukan untuk pemerintah Usmaniya, bahkan Istilah Usmaniya (Ottonom) dipahami bukan sebagai perasaan nasional ia dipahami sebagai milik dinasti Umayyah, Abbasiyah, saljuk dan Kekaisaran – Kekaisaran besar islam lainnya dimasa lampau. Konsep mengenai bangsa Usmaniyah dan tanah air Usmaniyah sebagai loyalitas yang patriotic adalah hasil pembaharuan abad 19 dabawah pengaruh orang-orang Erofa. Dibawah pemerintahan Usmaniyah bahasa yang dipakai orang, daerah yang diduduki, suku bangsa yang diwarisi bias jadi secara pribadi, perasaan atau makna social tidan ada hubungan nya dengan politik. Demikian sempurnany orang Turki menidentifikasikan diri mereka dengan Islam, sehingga menyebabkan hilangnya konsep nasional Turki, mereka tidak menyadari identitas mereka sebagai kelompok etnis serta budaya yang terpisah sebagaiman bangsa Arab dan Parsi di dalam Islam, orang-orang Turki nampak sedikit sekali kesadaran nasionalnya jauh lebih sedikit dari pada bangsa arab dan Parsi. Oaring-orang Turki sebelum islam tidak pernah memusuhi pemerintahan, agama serta kebudayaan. Semua apa yang diusahakan dalam berbagai bidang, dilupakan serta dinbasmi begitu saja sewaktu pemerintahan Isalam, tidak ada orang Turki yang memiliki kenangan-kenangan yang sama dengan bangsa Arab sebagai pahlawan pemuja berhala dari orang-orang kafir arab tidak pula sama dengan kebangsaan oaring-oarang Parsi yang memiliki Kaisar-kaisar mereka yang agung pada masa lampau, atau bahkan dengan legenda bangsa Mesir yang ditemukan disekitan puing-puing Firaun. Beberapa fragmin syair rakyat dan catatan istilah, serta apa yang ada pada zaman Turki, sebelum Islam, semuanya dilupakan. Bahkan nama Turki dan kesatuan yang berhubungan dengannya, diubah sedemikian rupa hingga sesuai dengan perasaan Islam. Penyamarataan adalah untuk menutupi semua kelompok dan bahkan paham kelompok tersebut, semuanya seolah-olah bersal dari Islam dan identik bangsa Islam demikian juga dengan sejarah bangsa turki dan kebudayaan turki. Bahkan bahasa Turki yang bentuknya seperti ini yang muncul seribu tahun lampau adalah dilahirkan islam, dan demikian seterusnya, dimana sampai saat ini istilah Turki tidak pernah dipakai pada golongan Non-Muslim meskipun asal keturunan itu asal Turki, penduduk serta juga Negara mereka juga Turki, kaum Usmaniyah tidak memiliki suku bangsa yang khas yang bias dibanggakan, tidak pula secara tegas menyatakan diri mereke adalah benar-benar keturunan turki Islam, merupakan jalan masuk yang membuka pintu membagi kekuatan nyata serta status social bagi orang Albania, Yunani, Slavia demikian juga bagi orang Kurdi dan Arab. (Benard Lewis, The Emergensi of Modern Turkey, Oxford University Press, 1961), h. 2,8.
[3] Harun Nasution, pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan gerakan (Jakarta : Bulan bintang, 1992), h. 126.
[4] Abdul Sani, Lintasan sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Is lam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), h. 116.
[5] Lihat, Harun Nasution, pembaharuan, h. 130.
[6] Maryam Jameelah, Islam dan Moderenisme, (Surabaya : usaha Nasional, 1982), h. 152 dikutip dalam buku Ziya Gokalp, Turkish Nasionalisme and watern Civilization, (new York : 1959, h. 276).
[7] Nam ‘Gokalp’ adalah nama pena dari Mehmed Ziya (pen-name) yang dicantumkan pada setiap karya-karyanya, baik berupa artikel maupun puisi yang diterbitkan dijurnal. Karena ia lebih sering menggunakan nama tersebut pada setiap karyanya, maka ia lebik dikenal dengan nama penanya tersebut. Kata ‘Gokalp’ ia ambil dari nama Turki kuno yang ditemukannya silsilah nenek moyang sultan-sultan Ottonom. ‘Gokalp’ terdiri dari dua kata. Gok bearti langit dan Alp yang berarti pahlawan. Lihat The Encylopedia Americana, International Edition, jilid 13 (Amerika Crolier Incorporated : 1996) h. 133.
[8] Tim Penilis IAIN Syarif hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta Jambatan, 1992), h. 262.
[9] A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta : Djambatan, 1994), h. 51.
[10] Eva Y.N, dkk, Ensiklopedi Oxford Of The Modern Islamic Word, terjemah Dunia Islam Modern, (Bandung : Mizan,20010, h. 118.
[11] Lihat Ensiklopedi Oxford, h. 119.
[12] Ziya Gokalp ingin membangun sebuah turki baru dan akan memindahkan kembali antara juarng turki usmani dan nenek moyang Turani yang kafir. Ia yakin bahwa Islam yang dibangun bangsa Arab tidak akan sesuai dengan keinginan semua, dengan materi etnis secara hati-hati ia berusaha mengumpulkan institusi kebudayaan serta polotik dari sejarah Turki periode sebelum Islam ; ia ingin melakukanpembaharuan Agama yang sesuai dnegan temepramen nasional kita (dikutip dari Abul Ala Maududi, Nasionalisme and India, Pathankat, Maktaba-e-Islami 1939, h. 40).
[13] Lihat harun Nasution, h. 126.
[14] Sekarang misi bangsa Turki tidak lain kecuali tidak lagi menutup-nutupi Turki pada masa sebelum Islam. Agar supaya sejajar dengan kekuatan Erofa baik secara militer, ilmu pengetahuan atau industri, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya adalah dengan menerima peradaban Barat secara keseluruhan (Ziaya Gokalp, Turkish Nationalisme Western Civilazation, New York, 1959, h. 276)
[15] Orang-orang Turki sebelum Islam, memiliki tingkat patriotisme yang lebih tinggi. Pada masa yang akan dating, seperti juga pada masa lampau, patriotisme akan menjadi sarana moral yang sangat penting bagi orang Turki, karena bangsa dan tanah air adalah unit eksistensi satu-satunya. Loyalitas pada bangsa harus didahulukan diatas loyalitas pada keluarga dan agama. Turkisme harus memberikan prioritas yang paling tinggi pada bangsa dan tanah air. Kita kan menciptakan kehidupan baru. Hal itu untuk mengklsifikasikan orang Turki yang lebih indah dan cantik dari paad bangsa Aria dan bangsa Mongol yang tidak memiliki dasar ilmiah. Suku bangsa Turki tidak akan berubah tabiatnya seperti suku bangsa lain hanya karena alcohol dan pencabulan. Darah orang Turki tetap menjadi muda dank eras seperti baja dengan kemenangan-kemenangan di mmedan pertempuran. Intelegensia orang Turki tidak akan luntur, dan juga perasaaanya tidak akan lemah. Kemenangan dimasa yang akan datang hanya tergantung pada niat orang Turki 9ibid, h.302.271, 60).
[16] Ibid, h.226-267
[17] Ketika suatu bangsa mencapai tingkat yang lebih tinggi hasil revolusinya, hal itu dapat dipastikan akan merubah peradaban juga. Ketika orang Turki menjadi suku bangsa pengembara di Asia Tengah, mereka memiliki peradaban timur jauh. Ketika mereka melewati tangga pemerintahan Sultan, mereka memasuki daerah peradaban Byzantium, dan sekarang ini dalam masa transisinya kepemerintahan Negara sekuler, mereka memutuskan untuk memerima perdaban Barat (ibib, h. 266-267).
[18] Kekeliruan besar paar pemimpin Tanzinat adalah karena usahanya untuk menciptakan mental campuran antara Barat dan Timur. Mereka tidak melihat bahwa dasar-dasar budaya yang bertentangan itu tidak bias didamaikan. Dikhotomi dalam susunan politik kita, yaitu sitem pemerintahan rangkap, dua jenis sekolah, dua sitem pajak, dau Budget, dua perangkap hukum semuanya menghasilakan kegagalan. Berbagai usaha untuk mendamaikan anatara Timur dan Barat, berarti memelihara keadaan zaman pertengahan pada zaman modern ini. Kalau tidak mungkin untuk mendamaikan metode janissary dengan system militer modern, kalau sia-sia menemukan system pengobatan lama dengan pengobatan modern, maka sia-sialah untuk melanjutkan konsep hukum lama dengan yang baru, demikian pula antara standar etik modern dan tradisional. Masing-masing peradaban memiliki logika sendiri, punya standar keindahan tersendiri, punya panadangan dunia tersendiri. Karena alas an inilah maka peradaban yang berbeda tidak bias dicampur denag begitu saja satu sama lainnya. Dan lagi, karena alas an yang sama, jika suatu masyarakat tidak mengambil suatu peradaban tertentu sebagai keseluruhan sebagai system maka akan gagal juga kalau hanya mengambil sebagian saja. Bahkan jika mengambil beberapa, maka akan gagal dalam mencernakan serta mengasimilisasi kannya. Para pembeharu Tanzinat kita, yang tidak memahami panadangan ini, selalu mengambil tindakan setengah-setengah terhadap apa yang mereka lakukan. Sebenarnya mereka melangkah memoderenesasi produksi nasional, mereka ingin merubah kebiasaan dalam hal makanan, pakaian, bangunan, dan perabot rumah tangga, sebaliknya, tidak akan ada pusat industri menurut standar Eropa, jiak para pembuat polisi Tanzinat melakukan pembaharuan-pembaharuan tanpa mempelajari keadaan serta tidak mengemukakan maksud dan rencana yang pasti(Ibid, h. 270-277).
[19] Turkisme adalah gerakan sekuler, dan dapat menyesuaikan dirinya sendiri yang hanya bersikap sekuler (Ibid, h. 304-305).
[20] Hanya dengan kekayaan peradabannya, Eropa dapat mengalahkan bangsa Muslim dan menjadi pemimpin dunia. Kenapa kita ragu-ragu mengambil alih peradaban ini yang telah membuktikan demikian suksesnya? Tidakkah keyakinan kaum Muslimin mewajibkan kita untuk mengambil semua bentuk Ilmu Pengetahuan dan mempelajarinya sebagaimana di sabdakan oleh Nabi Suci kita “ Carilah Ilmu meski di Negeri Cina”, dan “Ilmu pengetahuan itu merupakan harta yang hilang bagi orang Muslim, ia akan mengambilnya dimanapun ia menjumpainya”. Jepang sudah dipandeang kekuatan Eropa karena kemajuannya, tetapi kita masih dianggap sebagai bangsa asia lantaran tidak menerima peradaban Barat dengan sebenarnya(Ibid, h. 266-267).
[21] Ibid, haru Nasution, h. 130.
[22] Bernard Lewis, The Emergensi of Modern Turki. Op-Cit, h. 408.
[23] Ibid, h. 132.
[24] Ibib, Harun Nasution, h. 130.
[25] Lothorp Stoddart, The new of Islam, diterjemahkan oleh H. M. Muljadi Djojomartono, dkk, dengan Dunia Baru Islam, Jakarta : 19660, h.137.
[26] Lihat Harun Nasution, h. 90.
[27] Lihat Maryam Jameelah, H. 151
[28] Ghufran A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam (ringkas), (Jakarta: Raja Grafindo persada,1999), h.108.
[29] Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 17, (Jakarta : Adi Pustaka, 1991), h. 456.
[30] Lihat Harun Nasution, h. 136.
[31] Lihat Mukti Ali, h.60.
[32] Syafiq Mugni, Sejarah kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta : Logos, 1997), h. 143.

[33] Lihat Maryam Jameelah, h. 158.
[34] H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1991), h. 152.
[35] Lhat Harun Nasution, h. 135.

Sabtu, 27 September 2008

ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH


ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH

A. Pendahuluan

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[2]

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

B. Aliran Jabariyah

1. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [3]

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[6] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[7]

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[8]

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya:

a. QS ash-Shaffat: 96

ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

b. QS al-Anfal: 17

4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu

Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka

c. QS al-Insan: 30

$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:

a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.

b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.

c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.

d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[9]

Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[10]

Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.

Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [11]

2. Ajaran-ajaran Jabariyah

Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.

Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[12] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[13]

Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[14]

Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.

Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[15]

C. Aliran Qadariyah

1. Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[16]

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[17]

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [18]

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[19]

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[20]

2. Ajaran-ajaran Qadariyah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[21]

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[22]

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.

Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu

a. QS al-Kahfi: 29

`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4

Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".

b. QS Ali Imran: 165

!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖƒÏs% ÇÊÏÎÈ

Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

c. QS ar-Ra'd:11

3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.

d. QS. An-Nisa: 111

`tBur ó=Å¡õ3tƒ $VJøOÎ) $yJ¯RÎ*sù ¼çmç7Å¡õ3tƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR 4

Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.

D. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah

Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.

Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.

Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.

Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.

Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.

E. Penutup

Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua alira, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)

asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)

Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)



[1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1

[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63

[4] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239

[6] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.

[7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64

[8] Harun Nasution, loc.cit.,

[9] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65

[10] Ibid.,

[11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335

[12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80

[13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);

[14] Rosihan Anwar, op.cit., h. 68

[15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 75

[16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68

[17] Hadariansyah, loc.cit.,

[18] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71

[19] Rosihan Anwar, loc. cit,.

[20] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74

[21] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[22] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73

Label:

script src="http://www.clocklink.com/embed.js">